Minggu, 13 Maret 2011

Manajemen Berbasis Sekolah

Oleh : Subagio,M.Pd.
(Kepala SMPN 2 Cibeureum Kab. Kuningan)

Salah satu upaya meningkatkan mutu sekolah adalah dengan membenahi mutu guru, selain para guru mendapat pelatihan sekolah juga mendapat bantuan peralatan untuk pembelajaran, meskipun dengan adanya bantuan peralatan dan melatih guru-guru tidak otomatis kualitas sekolah menjadi bagus. Menurut Dr Umaedi,M.Ed (2010) kegagalan program peningkatan mutu tersebut disebabkan setidaknya oleh tiga faktor :
Pertama, strategi pembangunan pendidikan yang lebih bersifat input oriented. Artinya, strategi peningkatan mutu lebih bersandar kepada asumsi bahwa bila semua input pendidikan telah dipenuhi, misalnya penyediaan buku-buku dan alat-alat belajar, sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan, maka secara otomatis satuan pendidikan akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu. Strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek,1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional pada masa lalu lebih bersifat birokratik-sentralistik, sehingga sekolah sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang jalurnya bisa sangat panjang. Kadang, kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah. Sekolah hanya menjadi sub-ordinasi dari birokrasi di atasnya, sehingga kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreativitas, untuk mengembangkan dan memajukan sekolah, termasuk peningkatan mutu pendidikan.
Ketiga, peran serta warga sekolah, khususnya guru, dan masyarakat, khususnya orang tua siswa, dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim. Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan sering diabaikan, padahal terjadi atau tidaknya perubahan di sekolah juga sangat tergantung pada guru.
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) diantaranya mengatur standar nasional pendidikan (SNP). Standar tersebut menjadi acuan peningkatan mutu seluruh institusi pendidikan di negeri ini. Acuan rinci SNP dijabarkan dalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Seperti dinyatakan dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang dimaksud dengan Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang berbagai aspek yang relevan dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional yang harus dipenuhi oleh penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, yang berlaku di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Standar Nasional Pendidikan (SNP), yakni standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar prasarana dan sarana pendidikan, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Perlunya peningkatan mutu SMP, sesuai dengan penjelasan PP Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 11 pemerintah berkewajiban mendorong sekolah-sekolah kategori potensial (calon SSN), Sekolah Standar Nasional (SSN), maupun SSN berkeunggulan lokal agar pada akhirnya benar-benar mampu mencapai predikat Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Pengembangan Sekolah Standar Nasional (SSN) dirintis tahun 2004 didukung oleh pemberlaakuan MBS. Di Indonesia, cikal bakal MBS adalah program manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS)
MBS yang dikembangkan di banyak negara mempunyai banyak model. Menurut Leithwood dan Menzies (1998), setidaknya terdapat empat model, yaitu : (1) Kontrol administratif, kepala sekolah dominan sebagai representasi dari administrasi pendidikan. (2) Kontrol profesional, pendidik menerima otoritas. (3) Kontrol masyarakat, kelompok masyarakat dan orang tua peserta didik, melalui Komite Sekolah, terlibat dalam kegiatan sekolah. (4) Kontrol secara seimbang, orang tua siswa dan kelompok profesional (kepala sekolah dan pendidik) saling bekerja sama secara seimbang.
Model-model MBS itu merupakan varian yang muncul dalam otonomi pendidikan, MBS model pertama, yakni peran kepala sekolah lebih dominan, telah melahirkan sosok kepala sekolah sebagai raja-raja kecil yang berkuasa di sekolah.
MBS model kedua melibatkan para guru dalam manajemen sekolah, MBS model ketiga telah melibatkan masyarakat dan orang tua siswa dalam kegiatan sekolah. Sedangkan MBS model keempat adalah seperti yang diterapkan saat ini. Model ini ditopang hubungan sinergis antara keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang diharapkan dapat mendongkrak upaya mutu pendidikan.
Karakteristik sekolah yang melaksanakan MBS : (1) Proses belajar-mengajar yang efektivitasnya tinggi. (2) Kepemimpinan sekolah kuat. (3) Lingkungan sekolah aman dan tertib. (4) Pengelolaan tenaga kependidikan efektif. (5) Memiliki budaya mutu. (6) Memiliki tim kerja yang kompak, cerdas, dan dinamis. (7) Memiliki kewenangan (kemandirian). (8) Partisipasi tinggi dari warga sekolah dan masyarakat. (9) Memiliki keterbukaan (transparansi) manajemen. (10) Memiliki kemauan untuk berubah. (11) Melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan. (12) Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan. (13) Memiliki komunikasi yang baik. (14) Memiliki akuntabilitas. (15) Memiliki Kemampuan menjaga keberlanjutan.
Perubahan pola manajemen pendidikan lama (manajemen berbasis pusat) ke pola baru (MBS) antara lain : (1) Dari sub-ordinasi menuju otonomi. (2) Dari pengambilan keputusan terpusat menuju pengambilan keputusan partisipatif. (3) Dari ruang gerak kaku menuju ruang gerak luwes. (4) Dari pendekatan birokrasi menuju pendekatan profesionalisme. (5) Dari manajemen sentralistik menuju manajemen desentralistik. (6) Dari kebiasaan diatur menuju kebiasaan motivasi diri. (7) Dari over-regulasi menuju deregulasi. (8) Dari mengontrol menuju mempengaruhi. (9) Dari mengarahkan menuju memfasilitasi. (10) Dari menghindar risiko menuju mengolah risiko. (11) Dari menggunakan uang semuanya menuju menggunakan uang seefisien mungkin. (12) Dari individu yang cerdas menuju teamwork yang kompak dan cerdas. (13) Dari informasi terpribadi menuju informasi terbagi. (14) Dari pendelegasian menuju pemberdayaan. (15) Dari organisasi hirarkis menuju organisasi datar
Meski ada sejumlah persoalan penyelenggaraan MBS di sekolah-sekolah, namun pelaksanaan MBS hingga kini semakin bagus sebab framework secara nasional arahnya lebih jelas, ada landasan hukum rule of game MBS sudah sangat jelas yakni ada empat pilar penopang mutu pendidikan.
Pilar pertama, adanya penjaminan mutu eksternal, yakni dengan adanya standar yang dikembangkan BSNP, syarat pendidikan minimal.
Pilar kedua, institusi yang bertugas memenuhi standar pendidikan, yakni lembaga-lembaga pembina sekolah, dari dinas pendidikan kabupaten/kota, provinsi, direktorat hingga Ditjen.
Pilar ketiga, adanya institusi yang pekerjaannya mengecek dan mengevaluasi apakah satuan pendidikan sudah memenuhi standar. Tugas ini diemban Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah BAN-SM menilai akreditasi sekolah dan madrasah. Penilaian berdasar kriteria yang tercantum dalam standar nasional pendidikan.
Pilar keempat, adanya instrumen untuk menilai atau mengecek hasil pendidikan. Bisa berupa sertifikasi, ujian sekolah, ujian nasional atau evaluasi.
MBS semaikin kuat dasar hukumnya sejak ditegaskan dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 51 ayat 1 jelas menyatakan pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Sejumlah pasal lainnya juga mendukung penguatan penerapan MBS, antara lain pasal yang berkaitan dengan pengelolaan dana pendidikan yang berdasar pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (Pasal 48 ayat 1), dan peran masyarakat (Pasal 55 dan 56)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar